Selasa, 14 Juni 2011

INSEMINASI BUATAN (BAYI TABUNG)

Perkembangan teknologi kedokteran telah mengalami lompatan yang sangat menakjubkan, salah satunya adalah tekonologi rekayasa reproduksi atau Assisted Reproductive Technology (ART) atau yang dikenal dengan bayi tabung. Teknologi ini dapat dinikmati dengan harga sekitar 10- 20 juta rupiah per satu siklus, tergantung dari institusi yang melakukan. Angka keberhasilan bayi tabung di Indonesia sudah semakin meningkat, disamping karena faktor teknologi juga tergantung dari faktor umur sang ibu.

Inseminasi buatan ini sendiri dilakukan pada kasus-kasus infertilitas. Dimana seorang wanita mempunyai masalah reproduksi berupa hipofungsi ovarium, gangguan pada saluran reproduksi dan rendahnya kadar progesterone. Sedangkan pada pria berupa abnormalitas spermatozoa kriptorkhid, azoospermia dan rendahnya kadar testosteron. Selain untuk memperoleh keturunan, faktor kesehatan juga merupakan fokus utama penerapan teknologi reproduksi. Untuk alasan yang kedua ini, masih belum banyak dikenal di Indonesia, tetapi tidak tertutup kemungkinan di masa mendatang.

Inseminasi buatan ini dapat dilakukan dengan 2 cara:
1. Teknik IUI (Intrauterine Insemination), dilakukan dengan cara sperma diinjeksikan melalui leher rahim hingga ke lubang uterine (rahim).
2. Teknik DIPI (Direct Intraperitoneal Insemination), dilakukan sejak awal tahun 1986. Teknik DIPI dilakukan dengan cara sperma diinjeksikan langsung ke peritoneal (rongga peritoneum). Jumlah sperma yang disalurkan/diinjeksikan kurang lebih sebanyak 0,5–2 ml. Setelah inseminasi selesai dilakukan, orang yang mendapatkan perlakuan inseminasi tersebut harus dalam posisi terlentang selama 10–15 menit.

Resiko injeksi sperma ini adalah terjadinya kerusakan genetika. Secara alamiah, sperma yang sudah dilengkapi enzim bernama akrosom berfungsi sebagai pengebor lapisan pelindung sel telur. Dalam proses pembuahan secara alamiah, hanya kepala dan ekor sperma yang masuk ke dalam inti sel telur. Sementara dalam proses inseminasi buatan, enzim akrosom yang ada di bagian kepala sperma juga ikut masuk ke dalam sel telur. Selama enzim akrosom belum terurai, maka pembuahan akan terhambat. Selain itu prosedur injeksi sperma ini juga memiliki resiko melukai bagian dalam sel telur, yang berfungsi pada pembelahan sel dan pembagian kromosom. Sehingga bayi dari hasil inseminasi buatan memiliki resiko cacat bawaan lebih besar dibandingkan pada bayi normal.

Selain hal di atas, saat ini telah dikenal istilah Surrogate Mother atau ibu susu. Program Surrogate Mother (SM) ini dilakukan untuk:
1. Inseminasi buatan (Artificial Insemination /AI). Sperma berasal dari suami dan ovum berasal dari si SM, secara hukum istri harus mengadopsi anak tersebut.
2. Fertilisasi in-vitro/ transfer embrio (in-vitro fertilization/ IF atau Embryo Transfer/ET). Embrio yang merupakan hasil kombinasi sel telur dari istri dan sperma dari suami yang diimplantasikan pada rahim SM. Anak yang dilahirkan tidak memiliki hubungan darah dengan si SM. Nama pasangan suami istri tersebut dapat ditulis pada akte kelahiran si anak.
3. Fertilisasi in-vitro/ donor sel telur (In-vitro fertilization/ INV with Egg Donor / EG). Sel telur berasal dari pendonor atau penderma dan sperma berasal dari sang suami. Kemudian embrio ditanam di rahim si SM. Secara genetic anak tersebut tidak berhubungan darah dengan si SM. Secara hukum hanya nama sang ayah (suami) saja yang dicantumkan pada akte kelahiran anak. Si istri mengadopsi anak tersebut.
4. Inseminasi buatan dengan donor ( Artificial Insemination by Donor / AID). Sel telur berasal dari SM dan sperma berasal dari penderma. Embrio kemudian diinjeksikan ke dalam rahim si SM. Program ini dilakukan karena pasangan suami istri mandul. Secara genetik si anak berhubungan darah dengan si SM. Suami dan istri keduanya dapat mengadopsi anak tersebut.
5. Donor Sel Telur (Egg Donor). Si SM mendonorkan sel telurnya dan dibuahi oleh sel sperma dari sang suami. Embrio tersebut ditanamkan pada rahim si istri. Si anak berhubungan darah dengan si SM, namun karena istri yang mengandung dalam rahimnya. Maka si istri tidak perlu mengadopsi anak tersebut.
6. Embrio Somatik. Embrio berasal dari perkembangan teknologi seperti kloning.

Di Amerika Serikat sendiri saat ini sudah terdapat peraturan yang mengatur dan mengijinkan hal ini. Bahkan dipandang dari sisi etis, hal ini sudah dianggap sesuatu yang etis karena untuk dapat menjadi seorang SM harus memenuhi kriteria baik fisik maupun psikologis yang ditetapkan oleh Surrogate Mother Inc.

Di Indonesia sendiri bila dipandang dari segi etika, pembuatan bayi tabung tidak melanggar, tapi dengan syarat sperma dan ovum berasal dari pasangan yang sah. Jangan sampai sperma berasal dari bank sperma, atau ovum dari pendonor. Sementara untuk kasus, sperma dan ovum berasal dari suami-istri tapi ditanamkan dalam rahim wanita lain alias pinjam rahim, masih banyak yang mempertentangkan. Bagi yang setuju mengatakan bahwa si wanita itu bisa dianalogikan sebagai ibu susu karena si bayi di beri makan oleh pemilik rahim. Tapi sebagian yang menentang mengatakan bahwa hal tersebut termasuk zina karena telah menanamkan gamet dalam rahim yang bukan muhrimnya. Tetapi sebenarnya UU RI No.23 Thn.1992 tentang kesehatan pasal 16 ayat (1) dan (2) a, b ditegaskan bahwa Kehamilan diluar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan, tetapi upaya kehamilan tersebut hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah yaitu: hasil pembuahan sperma dan ovum harus berasal dari pasangan suami istri tersebut, untuk kemudian ditanamkan dalam rahim si istri. Jadi untuk saat ini wacana Surrogate Mother di Indonesia tidak begitu saja dapat dibenarkan.

Untuk pemilihan jenis kelaminpun sebenarnya secara teknis dapat dilakukan pada inseminasi buatan ini. Dengan melakukan pemisahan kromosom X dan Y, baru kemudian dilakukan pembuahan in vitro sesuai dengan jenis kelamin yang diinginkan.

Banyak masalah norma dan etik dalam teknologi ini yang jadi perdebatan banyak pihak, tetapi untuk pandangan profesi kedokteran mungkin dapat mengarah kesimpulan dari ‘Perspektif Etika dalam Perkembangan Teknologi Kedokteran’ yang disampaikan oleh dr. Mochamad Anwar, SpOG dalam Seminar Nasional Continuing Medical Education yang diselenggarakan di Auditorium FK UGM tanggal 10 Januari 2009, dimana aspek etika haruslah menjadi pegangan bagi setiap dokter, ahli biologi kedokteran serta para peneliti di bidang rekayasa genetika, yang didasarkan pada Deklarasi Helsinki antara lain:
1. Riset biomedik pada manusia harus memenuhi prinsip-prinsip ilmiah dan didasarkan pada pengetahuan yang adekuat dari literatur ilmiah
2. Desain dan pelaksanaan experimen pada manusia harus dituangkan dalam suatu protokol untuk kemudian diajukan pada komisi independen yang ditugaskan untuk mempertimbangkan, memberi komentar dan kalau perlu bimbingan.
3. Penelitian biomedik pada manusia hanya boleh dikerjakan oleh orang-orang dengan kualifikasi keilmuan yang cukup dan diawasi oleh tenaga medis yang kompeten
4. Dalam protokol riset selalu harus dicantumkan pernyataan tentang norma etika yang dilaksanakan dan telah sesuai dengan prinsip-prinsip deklarasi Helsinki.

Walaupun demikian penulis merasa selain etika penelitian yang ada dalam Deklarasi Helsinki ini, masih diperlukan campur tangan pemerintah untuk membuat suatu aturan resmi mengenai pelaksanaan dan penerapan bioteknologi, sehingga ada pengawasan yang lebih intensif terhadap bahaya potensial yang mungkin timbul akibat kemajuan bioteknologi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer Q